Aku
tak habis pikir tentang mahkluk halus yang mereka ceritakan malam itu.
Seolah aku seperti orang angkuh yang ingin diberikan kesaksian. “ Tak
percaya itu hanya mitos saja” kataku. Namun sudut mata itu memberikan
banyak makna pada ku. Apa yang mereka pikir tentang ku?
Disebuah teras kecil, aku duduk sambil memandang ke arah gunung. Ku
pegang sebuah handphone, yang biasa ku gunakan untuk menghubungi ayah
dan ibu ku di kampung. Jika ini seorang perantau baru, perjalanan ini
akan terasa jauh yaitu tujuh jam perjalanan. Hanya dengan handphone
tanpa kamera inilah aku bisa mendengar suara ayah dan ibu. Sebagai
mahasiswa baru, banyak sekali yang ingin di ceritakan kepada ibu. Cerita
tentang awal memasuki perkuliahan.
Tapi kali ini tak seperti
biasanya, handphone itu hanya ku ku timang-timang aku, tak mampu memberi
berita buruk yang menimpa ku. Aku takut. Sebelum ku pencet tombol
hijau, air mata ku berlinang. Akhirnya niat ku terkabul juga. Aku
menelpon ibu. “Ibu”? Kata ku lirih. “Ya, Kamu kenapa nak? Kamu lagi
sedih atau ada masalah?” tanya ibu. Mungkin ibu mengira ini masalah
perkuliahan. Biasa, mahasiswa baru. Aku tambah sedih, air mataku
mengalir deras dan mulai tersedu-sedu. Tak mampu ku gambarkan kesedihan
ini. akhirnya aku mengrungkan niatku utnuk memberitahukan ibu.
Seharusnya tak ku kabarkan masalah ini pada ibu. Aku mendapatkan
masalah yang membuat ku terpuruk di gedung mewah ini. Tidak beberapa
bulan menjalani perkuliahan aku diberikan cobaan. Semakin dekat ku
dengan-Mu, semakin kuat godaannya. Aku mulai putus asa mengahadapi semua
ini. Ingin ku akhiri perkuliahan ini. namun pesan ibu tak pernah
kulupakan, ibu selalu mengingatku, jangan takut masalah yang
menghadangmu, karena itulah yang akan mendewasakanmu. Jangan pernah
putus asa dengan hal-hal kecil yang akan menjatuhkanmu. Itulah kata-kata
yang paling sederhana yang diucapkan ibu.
Seiring berjalannya
waktu, aku merasa semakin dikucilkan. Aku tak punya tempat untuk
mengadu, aku hidup di kota ini hanya sebatang kara. Tetapi disini aku
masih punya seorang sahabat, yang selalu berbagi dalam suka dan duka. Ia
teman sewaktu SMA. Ia tahu semua derita dan bahagia ku. Terutama
masalah yang menimpaku ini. Namun, kami tidak satu kamar, kata orang
sahabat tak boleh satu kamar, bisa-bisa bertengkar. Jadi kami memilih
beda kamar. Jumlah kami se-kos cukup banyak, sekitar lima belas orang.
Aku mendapatkan tiga orang sekamar. Disini aku anak baru, yang penuh
dengan keluguan. Dengan kepolosan dan keluguan ini aku mendapatkan
masalah.
Berawal dari sebuah kehilangan uang. Hampir setiap
minggu uang kakak sekamar ku hilang. keributan dan kecurigaan pun mulai
terjalin, seolah mata itu tertuju padaku. Aku seperti orang bodoh, yang
tak mampu membela diri. Hal yang paling aneh yang belum pernah aku
dengar yaitu adanya mahkluk dan adanya bau bunga melati disekitar kos .
Selain itu bunga melati pernah ditemukan dipintu kamar kos.
Sindiran-sindiran dari berbagai sudut kamar sudah mulai terdengar.
Nada-nada suara yang tak enak didengar sudah mulai memanaskan suasana
hati. Namun aku berusaha untuk menutupi telinga dari kata-kata yang tak
sedap itu.
Dalam suasana seperti ini, aku masih fokus untuk
kuliah. Aku tak pernah membawakan masalah ini ke kampus. Namun ketika
aku hendak menuju kampus, aku tidak sengaja mendengar suara bisikan,
terdengar suara yang pelan dan samar. Mereka berkumpul, salah satu kata
yang dapat meneteskan air mataku yaitu mereka menjauhi ku, dan aku
dianggap sebagi pelaku dari semua itu. Hina sekali diriku. Namun aku
terus melanjutkan perjalanan menuju kampus.
Tekanan sudah mulai
aku rasakan, semua orang menjauhiku, aku seolah seorang hantu yang
berwujud manusia. Sungguh luar biasa. Kesedihan semakin menumpuk,
rasanya sudah sesak dada ku. Masalah ini tak sebatas sampai disini.
Masalah ini terus menuju tingkat lanjut, aku dilaporkan kepada ibu kos.
Entah apa yang mereka ceritakan, aku tak tahu. Hingga aku dipanggil dan
disuruh menemui ibuk kos. Buk mina namanya. Bukan saja aku yang
dipanggil, semua anak kos dipanggil untuk berkumpul. Sesuatu yang
mengejutkan ku, aku langsung ditanyakan tentang mahkluk halus. Aku
dituduh membawa mahkluk halus, dan mahkluk itu yang telah mengambil uang
kakak-kakak sekamarku. Lemah sekali diriku, aku bahkan menampakkan
kelemahanku dengan meneteskan air mata.
Berbagai pertanyaan
yang dilontarkan padaku. “Kamu harus jujur dan setidaknya kamu mengakui
kesalahanmu” ujar buk Mina. “tidak buk, aku tak pernah, melakukan hal
yang serenda itu, apalagi mempunyai mahkluk halus” jawab ku sambil
meneteskan air mata. Namun kakak-kakak sekamar ku ikut serta menghujam
ku. Masalah terebut belum terlihat ujungnya. Sepertinya aku sudah tak
sanggup lagi untuk menyimpan masalah ini dari ibu dan ayah. Aku ingin
pindah kos, namun itu menambah masalah bagiku, itu akan memperkuatkan
tuduhan mereka terhadapku. Akhirna aku putuskan untuk pindah kamar yang
berhadapan dengan kamar sahabatku. Disini aku hanya sendiri dalam satu
kamar. Aku sedikit lega, kesendirian mulai ku nikmati.
Seminggu
setelah pindah kamar, aku dipanggil lagi oleh ibuk Mina. Tidak lain
adalah untuk membahas masalah kehilangan dan mahkluk halus. Kali ini
kami hanya berbicara berdua saja. Aku dan ibuk mina. Mungkin buk mina
sudah mencari cara untuk menyuruh aku mengakui semuanya. Namun yang
namanya tidak, tetap tidak. Bahkan ibu mina mengatakan bahwa kampung ku
masyarakatnya masih mempercayai mahkluk halus. Entah dasar apa ibu mina
mengatakan hal itu. Sepertinya ibu mina sudah mula percaya dan secara
tidak langsung aku telah dituduh oleh ibu kos. Dalam suasana seperti ini
aku tetap bertahan dengan segala macam tuduhan, penghinaan yang sangat
besar ku rasakan.
. Di kamarku ada dua pintu, pintu yang satu
menghadap kearah pegunungan yaitu balkon. Aku sering duduk di balkon
tersebut, untuk menikmati panorama mentari pagi. Kali ini kesedihan ku
semakin mendalam. Tak bisa lagi ku simpan tanpa memberitahu ibu. Aku
mencari cara bagaimana mengawali cerita ku ini pada ibu. Namun dengan
tidak rasa sabar lagi, aku menelpon ibu.
“Ibu, sepertinya aku sudah tidak tahan dengan tuduhan ini? Apa benar kita punya mahkluk halus?” tanya ku.
“Apa maksudmu nak, kenapa kau bisa bicara seperti itu?” ibu balik nanya.
“ ibu, aku tak ingin masalah ini semakin rumit, bahkan disini aku
dikucilkan dari teman-temanku, aku tak punya siapa-siapa, tak ada yang
berpihak pada ku, aku pencurikah ibu?” tanyaku.
“ tidak anakku,
ibu tahu siapa kamu nak, biarkan Tuhan menghukum mereka, kita pasrahkan
pada tuhan, karen tuhan itu tidak sia-sia, tuhan memberikan cobaan
sebatas kemampuan manusia, jadi jangan ragukan itu” jelas ibu. Aku tahu,
ibu sedang menahan tangisnya, itu terdengar dari perubahan suaranya.
Sesuai dengan perjanjian sebelumnya, malam jumat itu kami berkumpul.
Jika tidak yang mau mengakui, maka setiap kami di wajibkan bersumpah
dengan al’quran. Namun, ada seseorang yang tidak hadir. Ia adalah tamu
kakak sebelah kamarku. Sebelumnya ia numpang nginap beberapa minggu.
Acara bersumpah pun di mulai. Entah mitos aku juga tidak mengerti,
katanya jika uang itu tidak dicuri, maka sumpah itu kembali kepada orang
yang punya uang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar