seleamat membaca cerpen saya dan jangan lupa tinggalkan komentar

Rabu, 24 Oktober 2012

TAK BER AYAH


Riuh gemuruh suara teriakan dan tawa
anak kelas 4 sd berlarian menembus
celah-celah jendela ruangan, riuh itu
baru berhenti perlahan tatkala bu guru
menghentakkan mistar panjangnya ke
papan tulis yang penuh dengan coretan
dan gambar naruto. Pagi itu, ruangan
kelas 4 seperti audisi solo pelawak, tiap
anak akan menceritakan pahlawan
hidupnya,.. tiap anak yang bercerita,
maka gemuruh akan tercipta, dan mistar
kembali menghantam papan tulis untuk
merendam riuh agar tak mengaung lagi.
"selanjutnya.. Husain…"
"Hadir bu.."
"Maju…!!"
Suara mulai menelisik dari kolom meja-
meja.. kali ini objeknya makin menarik,
badan tirus cekung, baju selalu
kedodoran, tanpa lupa ujung lengan
baju selalu mengkilat dengan sisa ingus
yang mengering..
Husain gentar, tak biasanya, dia yang
biasa menjadikan dirinya sebagai bahan
tertawa'an, kali ini berdiam lama
memandangi sepatunya, bergerak pelan
dan menatap diam-diam temannya yang
sudah tidak sabar melihat aksinya,
melihat kembali pada ibu guru dengan
tatapan memohon, untuk sekarang ini
tak perlu lah dia naik, ibu guru tak
merespon, tatapan teman-teman
menekannya untuk segera beraksi, dia
melangkah dengan penuh beban,
kulitnya mengerucut, tapi tak
berkeringat.
"Silahkan Husain, perkenalkan
pahlawanmu ke teman-teman…"
"Paling cibi maruko chan bu.."
Wuakakakakaka…..
"upin-ipin..! kan tivi dirumahnya Cuma
bisa dapat siaran mnc…!!!
Wuakakakakakaka….!!!!!!
Gemuruh kembali menggelepar,
disertai hentakan meja yang bersahut-
sahutan, bahkan ibu guru harus
menyentak mistarnya lebih dari sekali
untuk menenangkan, Husain terpaku,
jari-jari tangannya kaku menarik ujung
baju, entah kenapa kantong ketawanya
mengempis, hingga bibirnya malah
mengatup keras layaknya jahitan, saat
diam dan tenang barulah ia bersuara
dengan nada yang begitu pelan.
"P..p…pahlawan ku… ii..i.bu…
i..ibu ku…
ibuku…."
seketika hening menerpa.. tangan-
tangan yang sedari tadi tak lelah-lelah
menghantam meja tergelatak mati
diatasnya, suara terkunci, semua mata
termasuk ibu guru sepenuhnya
menatapa tajam dan heran pada husen
yang baru berucap ibu, telah
meneteskan air mata, husen segera
tertunduk, mencoba menenangkan
hatinya yang telah berkecamuk, dan
kini di kelas, cerita itu mengalir pelan
namun riaknya deras, membuat kontes
lawak bubar, berganti putaran nostalgia,
mempertontokan salah satu sudut
kepahlawanan yang memilukan, serasa
husen ingin berkata, "siapa bilang
pahlawan itu selalu super?"
***
Satu malam pada beberapa tahun yang
lalu, sekelompok pria berpakaian gamis
mendatangi rumah yang terletak di
tengah-tengah sawah, kedatangannya
mendadak, hingga si tuan rumah tak
bisa menduga, gerangan apa yang
menyebabkan mereka datang di waktu
enak-enak bercengkrama dengan
keluarga.. tujuan itu tersimpan rapi di
wajah-wajah mereka yang senantiasa
tersenyum, di ruangan tamu yang
remang itu, mereka mencoba berbasa-
basi terlebih dahulu, melelehkan
suasana, tapi tetap rasa penasaran
menusuk-nusuk sikap yang sedari tadi
seolah acuh, dan cicak-cicak pun tau,
ini awal kehidupan.. mereka kembali
kesarangnya untuk mengurus telur-
telur yang hampir menetas
"langsung pada intinya, disini bu.. kami
mewakili sodara ahmad, ingin
mempersunting lina keponakan ibu..
sebagai perwujudan jihad seorang
muslim menyempurnakan imannya dan
membentuk keluarga muslim yang
mawaddah"
Mendengar pengakuan itu, rasa
penasaran lenyap berganti khawatir
yang menjerat, bukannya apa, bukannya
tak suka, tapi ini betul-betul
mendadak.. harusnya tidak langsung
seperti ini, karena dia sendiri menyadari
tidak punya hak atas keponakannya
dalam hal ini, tapi ia tak enak dan takut
disalah artikan jika mengatakan
penolakan sehalus apapun
"mari kita bicarakan lebih lanjut dalam
perpustakaan rumah, anak-anak sedang
nonton, saya akan panggilkan suami
saya dan lina"
"tolong di ambilkan hijab bu"
"tidak masalah"
Ruangan yang di kelilingi lemari buku
itu kini terbagi dua, dibatasi oleh
gorden biru yang memanjang, sisi satu
di isi mereka, laki-laki bergamis yang
kali ini tak tersenyum sedikit pun,
sedang di sisi satunya dua pasangan
paruh baya dan seorang wanita berjilbab
panjang sedang duduk, kepalanya
tertunduk, menenangkan hati yang
bergejolak
"kau kenal ahmad ini nak.."
Ibu itu memulai percakapan
Lina mengangguk..
"Seberapa kenal kau dengan dia..
keluarganya.. riwayat pendidikan dan
kehidupannya"
Lina terdiam.. lama.. seorang pemuda di
balik sana mengerutkan dahi, ia sedikit
tersinggung, serasa ibu itu ingin
menelanjanginya, semua tak sesuai
harapan, kiranya akan berjalan mulus
dan mudah.. tapi tidak demikian, kali ini
suasana berubah mencekam
"dalam islam, dua orang pasangan yang
ingin menikah harus mengutarakan
perihal hidupnya secara jujur.. agar di
kemudian hari tidak ada penyesalan dan
rasa tertipu.. "
"Sebagai perempuan.. biar lina yang
duluan.."
Pemuda itu memotong..
ibu itu tertohok dan segera ingin
menyanggah.. kenapa tidak dia yang
duluan, merasa lebih tinggikah..
harusnya sebelum berani melamar, dia
cari tau sendiri wanita yang ingin
dijadikan pasangan, agar bisa sesuai
keinginannya dan mantap dalam
hatinya.. tapi bapak yang duduk di
sampingnya memegang tangannya.. ia
menenangkan istrinya yang gelisah
karena keponakan, yang kali ini dalam
pilihan membentuk kehidupan baru,
tidak main-main, suaminya tau rasa
gelisah yang lahir dari sikap tanggung
jawab istrinya, dan untuk kali ini, dia
ingin mendamaikan istrinya dengan
genggaman positif dan senyum, seraya
ingin berkata
"tenang… semua akan baik-baik saja,
kita hadapi bersama"
"Nak lina, silahkan.."
Lina bicara terbata-bata, memilih kata-
kata dengan tepat, secara polos dan
tentunya jujur,, dia tidak melebih-
lebihkan tidak pula mengurang-
ngurangi.. dari bibirnya keluarlah
pengakuan, terlahir sebagai anak kedua
dari keluarga sederhana di sudut
kampung palopo yang agak terpencil,
diantara sodaranya, pendidikannya yang
kali ini paling tinggi, kakak pertamanya
meneruskan empang keluarga, adeknya
juga belajar di Makassar, tak ia tutup-
tutupi, keluarganya miskin, empang tak
bisa menghidupi kehidupan anak-anak
yang di tinggalkan orang tua, untuk itu
dia usaha menjahit kecil-kecilan untuk
memenuhi biaya sekolahnya dan
adiknya.. dia mengenal ahmad dengan
sangat minim informasi, hanya lewat
perkataan temannya, di tempat
kuliahnnya, al-irsyad sana.. itu pun
karena temannya adalah adik ahmad,
dan dari situlah lina di beritau bahwa
kakaknya akan meminangnya, tapi tak
jelas kapan… hanya itu.. tak lebih..
Lina mengeluh pelan, matanya
terpejam, dalam hati terbersit lafadzh
"Alhamdulillah" berterima kasih kepada
Allah atas karunia kekuatan hingga bisa
mengungkapkan semua dengan apa
adanya dan berharap penuh kepada
Allah
"jika ia baik.. dekatkan ya Allah, namun
jika buruk.. jauhkan secara baik.."
Kali ini, giliran ahmad yang berbicara,
mulanya bicaranya lantang, penuh
percaya diri, namun tidak terkesan
sombong. dia biasa di sebut ustad,
menjadi salah satu aktifis dalam
lembaga al-irsyad dimana lina belajar
sekarang, keluarganya cukup
terpandang, beberapa keluarganya
tinggal di Jakarta, di Makassar, orang
tuanya meninggalkan sebuah rumah
buat dia dan sodara-sodaranya..
Mendung menggelayut pada hamparan
langit, saat bias sabit tak mampu
menembus celahnya, jangkrik-jangkrik
kesal bersahut-sahutan, karena khawatir
ular mengendap memakan dirinya yang
kini bersembunyi di balik builr padi
menunduk dan hampir menguning.
Entah kenapa. Ahmad berhenti
sejenak.. meski tak terlihat, setiap
selipan buku tau, dia kini terpejam,
nafas panjang dia tahan, sepertinya dia
menahan sesuatu yang tak ingin dia
utarakan.
"saya duda.. dan sudah punya satu anak
perempuan, dua bulan kemarin kami
cerai, tapi belum sah di pengadilan"
Suara itu merambat pelan menulusuri
aliran darah ibu paruh baya hingga
menciptakan gelombang kedalam
jantunnya, detakannya makin terasa
kencang, matanya sedikit membelalak
menunjukkan ekspresi kekagetan,
lina..?? dia masih saja tertunduk… tapi,
untuk beberapa saat, matanya tak
berkontraksi, ia mencerna dengan baik,
mengulangi ketetapan hatinya.
"jika ia baik.. dekatkan ya Allah, namun
jika buruk.. jauhkan secara baik.."
Kali ini ibu itu kian tak sabar, ia tak
mau mengambil resiko yang lebih dari
ini, lina datang ke tempatnya untuk
belajar, sebagai tante, dia bertanggung
jawab penuh atas kehidupan lina,
bertanggung jawab, bukan berarti
memiliki hak atasnya, apalagi untuk
urusan pernikahan, pintu baru
kehidupan. ini harus di rundingkan
dengan keluarga yang lebih berhak
menjadi wali lina
"sodara ahmad yang baik, sebaiknya
persuntingan ini kita tunda dulu, karena
masih banyak yang harus di perjelas,
saya minta maaf, bukannya kami
menolak, tapi biarkan lina
memikirkannya dan memberitahu
keluarganya di kampung.. apalagi status
nak ahmad ini….
Tiba-tiba genggaman suaminya
mengeras, ia menoleh pada suaminya
yang kali ini terlihat serius, dan
menggeleng pelan.. suasana berhenti,
bahkan angin tak berhembus, rintik
hujan menelusuk di balik jendela yang
beruap.. hawa dingin menerobos, tapi
dalam perpustakaan itu, semakin panas
saja, aura penekanan dan kegelisahan
menyeruak membelah terpaan angin
malam yang di hempaskan anak rinai
hujan..
"kalo gitu kami pamit pulang, assalamu
a'laikum"
Ahmad berdiri pertama, tanpa menoleh,
langsung membuka pintu dan tak ada
semenit telah berdiri mematung di luar
pagar rumah.. teman-temannya merasa
tak enak, apalagi, suami dari ibu ini
merupakan salah satu pengajar di al-
irsyad
"haduh.. kami minta maaf atas sikap
ahmad ustad"
"Tidak pa-pa… sampaikan minta maaf
kami kepada Ahmad, jika jodoh, tidak
akan kemana"
Suami itu melepas senyumnya di balik
remang ketegangan, tetamunya telah
tertelan gelap, ia mengunci pagar dan
menutup pintu.. kemudian berdiri
diambang pintu perpustakaan, menatap
istrinya yang masih saja dalam
kegelisahannya, dan pada lina, yang
masih saja tertunduk sedari tadi.
kemudian bapak itu, berlalu dengan
meninggalkan senyum pada istrinya.
masih saja menyiratkan ketegaran
"semua akan baik-baik saja"
"kapan kau akan ke kampung nak"
"kalo bisa besok tante.."
Ibu itu ingin berkata panjang lebar, tapi
dia sadar, saat ini keponakannya masih
terombang-ambing dalam dilema
perasaan, apalagi merasakan sikap
ahmad yang kurang bersahabat..
"terserah kau.. kamu bukan anak kecil
lagi.. sudah tau yang mana baik dan
buruk.. Cuma sebagai tante layak untuk
memberi mu nasehat, dan
perlindungan.. tante mana yang mau
melihat keponakannya tidak baik.. maaf
jika perlakuan tante tadi kurang
menyenangkan hatimu.."
Kali ini lina mendongkak kan
kepalanya, menatap tante yang sudah
dianggapnya ibu sendiri.. lalu
tersenyum penuh ketenangan..
"tidak tante,, saya harusnya berterima
kasih.. tante sudah bersikap tegas, yang
itu belum tentu bisa saya lakukan"
Mendengar itu, ibu paruh baya
membalas senyumnya, lalu membelai
pelan keponakannya, dan berlalu
menemui anak-anaknya yang tertidur di
depan tivi. Lina masih terduduk lemas,
pandangannya tiba-tiba kosong.. raut
wajahnya renyuh menatap pembatas
horden, seakan membayangkan sosok
ahmad yang terlihat cemas di balik
sana.. sekejap air matanya keluar, entah
karena apa..
***
Kelas itu hening seketika.. mata anak-
anak kelas 4 tak bergeming menatap
temannya Husain yang bercerita begitu
serius dan penuh penghayatan.. kali ini
tak ada ketawa, tak ada meja yang
dihantam keras, tak ada mistar panjang
yang memukul papan tulis untuk
menenangkan, hanya ada diam dan
hening..
"lina itu ibuku.."
***
Dentuman guntur memecah hening
yang tercipta oleh gelapnya mendung,
hujan telah turun, lina pun telah
memanaskan air, sambil membuat
sepanci bubur kacang hijau, buat
suaminya yang akan pulang sore ini,
dan juga buat sodara-sodara ahmad
yang akhir-akhir ini mulai berani
menyuruh-nyuruh lina dengan
bentakan, seakan dia hadir sebagai
pembantu di rumah tersebut, tapi lina
tak mempermasalahkannya.
"abi.. hangatkan dulu badanmu, sudah
ku siapkan air hangat, sementara kau
mandi, ku ambilkan semangkok bubur
kacang hijau yang telah ku campuri
jahe.."
Lina tersenyum melihat suaminya yang
bergerak malas ke kamar, sepatu
suaminya ia letakkan di samping pintu
masuk, payung yang masih tergerai di
lipat dan di kibas-kibaskan, lalu dia
menutup pintu dengan pelan, bersama
dengan tetes-tetes air hujan yang
bergelayut di ujung payung, lalu turun
perlahan meniti lantai-lantai rumah saat
lina menuju dapur, menyiapkan
semangkok bubur kacang hijau, lalu
menuju kamar, dengan sabar duduk di
tepi ranjang yang tak terlalu besar,
tangannya tak lepas dari penutup
mangkok, dan matanya tak bergeming
dari pintu kamar mandi, menunggu
suaminya selesai menyegarkan diri
dengan hangat air yang dia panaskan
tadi.
"pelan-pelan abi.. buburnya masih
sangat panas.. bisa-bisa lidahmu
terbakar, sini biar ku suapi"
"tidak perlu"
Lina masih memandang suaminya yang
meringis kepanasan, dia bergeser
sedikit mendekati suaminya, dan
perlahan mengipas-ngipas bubur
dengan penutup mangkoknya,
khawatirnya tak lepas dari ahmad.. jika
bisa, dia pun akan meminta untuk
membagi rasa panas yang di rasakan
ahmad, meski karena itu, lidahnya pun
akan terasa kelu.
"aku ingin berhenti jadi diler motor"
Ahmad memberikan bubur kacang hijau
yang belum habis itu pada lina,
mendegar itu, lina tersentak, namun
disembunyikan kekagetannya, perlahan
dia meletakkan mangkok tersebut diatas
meja belajar keponakannya.
"ada masalah yah?"
"tidak"
"lalu?"
"aku Cuma ingin mencari pekerjaan
yang lebih berarti.. jadi diler motor
sama seperti jadi satpam bagiku.."
"tentu beda.. dari pendapatan pun
sangat jauh…. Lagi pula sekarang sulit
mencari pekerjaan yang memadai buat
penghidupan.. kalo abi berhenti, cari
pekerjaan susah lagi, mana motor
belum lunas kreditannya"
"yang begituan tidak perlu kau
pikirkan.. itu jadi tanggung jawabku..
aku juga berencana mencari kontrakan
yang memadai, meski kau tak pernah
bilang, aku tau, sodara-sodaraku sudah
berlaku kurang baik kepadamu"
Lina tersnyum.. sedikit perhatian
suaminya, bagi istri seperti lina,
bagaikan sebuncah kebahagian yang tak
tergantikan oleh momen apapun
"tidak apa-apa, tak bisakah kau tunda
dulu?, ada hal yang lebih penting dari
itu yang harus kita pikirkan.. persiapan
buah hati kita.. tentunya butuh biaya
yang tak sedikit.."
Ahmad tak menggubris, ia langsung saja
merebahkan badannya diatas kasur..
sekejap matanya terpejam..
"yah.. terserah abilah.. aku ikut
suamiku"
Lina pun ikut merebah di sampingnya.
memandang punggung suami yang
membelakanginya, rambut suaminya ia
belai begitu pelan. satu setengan tahun
semenjak keluarganya di kampung
mempercayakan dirinya di atas pundak
ahmad, satu setengah tahun saat lina
mendapatkan status cerai sah dari
ahmad dengan istri pertamanya, dan
memantapkan dirinya untuk siap
menjadi pendamping yang setia, menjadi
partner hidup hingga ajal menjemput,
satu setengah tahun saat dia mulai
menapaki kehidupan baru bersama
ahmad, lelaki yang berbagi kehidupan
dengannya. kini, meski hidup serba tak
kecukupan, dia tak bermuram durja, gaji
yang di dapat ahmad tergolong di
bawah standar, meski begitu lina tak
pernah mengeluh, toh lina juga ikut
membantu suaminya dengan
melanjutkan usaha jahitannya, asal ada
ahmad di sampingnya, semua bisa
dilewati, asal ada ahmad yang
menggandengnya lelah tak terlalu
membebani.. jika mengurus diri sendiri
sudah sangat susah, bukan berarti hidup
berdua akan lebih susah.. karena
ternyata rasa tanggung jawab dan
pedulia memberi kekuatan tersendiri,
tidak tau dari mana, tapi itulah cinta
menurut lina. dan buat anak yang akan
lahir, lina bertekad akan menjadi lebih
kuat berlipat-lipat, asal dengan ahmad..
***
Husain berhenti sejenak, mengatur
dadanya yang bergemuruh dengan
tarikan nafas panjang, lalu memandang
ke sekeliling kelas, melihat teman-
temannya yang sedari tadi telah
memusatkan seluruh panca indra
mereka pada cerita Husain, entah
kenapa ,perhatian itu memberi kekuatan
lebih padanya, memberikan dia sebuah
keyakinan, bahwa, meski pahlawannya
kali ini berbeda dengan yang lain,
pahlawannya tidak bisa berubah, tidak
punya sinar super dari kedua matanya,
tidak memakai stelan yang keren.. tapi
tetap.. pahlawannya jauh lebih hebat..
jauh lebih super.. dan lebih nyata dan
patut untuk dikenang.
"di ibu kota, aku pun lahir"
***
Lina tergopoh-gopoh ke meja makan,
kandungannya sudah mencapai
Sembilan bulan, beratnya minta ampun..
serasa dua kelapa besar diikatkan ke
perutmu dan mutlak dibawa kemana
saja, hingga saat kau mencoba untuk
memengeluarkan air seni sekalipun.
perhatikan..!! dalam sudut ini,
perempuan beribu-ribu kali lipat kuat
dan sabarnya dibanding laki-laki, dalam
keadaan ini perempuan beribu-ribu kali
lipat mulianya dibanding laki-laki,
mereka dekat dengan surga, mereka
dengan dengan berkah.. dan itu
disadari lina.. hingga bukan keluhan
yang lahir dari raut wajahnya, tapi
kesenangan yang tiada tara, garis-garis
kesabaran yang tergores indah di
permukaan dahi dan kantong mata yang
semakin membuatnya manis.. serta
segunung harapan pada jantung hatinya
yang akan segera lahir, menemani hari-
hari dan mengisi daftar perjuangan
berikutnya, tanpa lupa selingan dari
senyuman manja si buah hati saat di
sentuh perutnya dengan bibir ibu yang
membuatnya geli.
"huh.. sia..sia.. mad..mad… datang ke
Jakarta.. dah lebih 6 bulan, kerjanya
Cuma mondar mandir gak jelas.. habis
itu ngabisin beras.. mending pulang dah
ke Makassar.."
Kali ini paman ahmad berbicara lebih
pedas dari malam-malam biasanya,
makan malam itu menjadi momok
paling menjijikkan buat ahmad dan lina.
sadar bahwa dia menumpang, ahmad
hanya bisa terdiam dan menelan
makanan yang terasa begitu pahit.
"si jery itu dah mau masuk tk lho..
mana anaknya manja banget, kalo beli
apa-apa selalu pilih yang mahal-mahal,
mana kakaknya juga selalu iri kalo
adeknya beli barang baru, pasti juga
kepengen..huh.. jadi om harus hemat-
hemat uang.. tapi.. yah gimana mau
hemat uang.. kamunya datang…"
"kamu tau kan.. paman mu ini Cuma
pensiunan pertamina.. buat beri makan
keluarga aja susah.. apalagi harus
nanggung dua orang lagi yang gak jelas
kehidupannya"
Pyar…!! termometer kesabaran ahmad
pecah..! air raksanya meloncat keluar
dan menetesi hatinya yang kini meleleh
di amuk amarah.. sepontan ia berdiri
lalu menarik lina.. berusaha
mengimbangi jalan ahmad, lina
memegang perutnya dengan tangan kiri,
sementara tangan kanannya dicengkram
keras oleh ahmad, sakit, tapi lina tahu
suaminya lagi meradang tegang,
mukakanya memerah. Hingga cara
ahmad mengeluarkan seluruh pakaian
mereka dari lemari seperti perampok
mencari setitik berlian dalam tempo
tidak kurang dari 10 detik.. lina hanya
bisa terdiam, bukannya takut, dia hanya
iba melihat suaminya, tapi menangis
pun bukan hal yang baik, karena hanya
akan menjadi beban buat hati ahmad
yang telah terjepit oleh perkataan pedas
pamannya. yah.. untuk kali ini diam
betul-betul menjadi emas, meski
hatinya ikut merintih, tapi lina
menyembunyikannya dalam sikap diam,
sambil membantu ahmad melipat
pakaian dan merapikan segala barang-
barang mereka dengan cepat. tak
sampai 10 menit, seluruh barang telah
siap diangkut. kali ini bertambah beban
lina melangkah keluar, tapi ahmad
sudah dikuasai amarah, lina tak ia
gubris, langkahnya sangat-sangat cepat,
tak menoleh atau berhenti sejenak
untuk melihat lina yang tertatih-tatih
mengikuti langkannya keluar, lina tetap
diam dan sabar.
"mau kemana… habisin dulu
makanannya"
Ahmad tidak bergeming, matanya malah
memerah seperti hendak keluar, urat-
uratnya bermunculan, perkataan
pamannya tadi bukannya terdengar
sebagai ajakan berdamai atau terbersit
"jangan diambil hati.. aku tadi Cuma
bercanda" atau "ya. . tersinggung sih
boleh, tapi gak sampai keluar rumah
lah.." malah terdengar seperti klimaks
cemo'oh, penyempurna sabetan-sabetan
lidah pamannya malam itu.. apalagi
ahmad yang dalam kondisi seperti itu,
segalanya terdengar salah, segalanya
seperti menghakimi, semuanya
terdengar menjijikkan. bahkan
mendengar kalimat terakhir sudah
cukup menjadi alasan buat ahmad
untuk mematahkan leher pamannya
atau menusuk matanya dengan garpu.
bukannya apa, kalimat itu terdengar
setajam silet. mengupas hingga tidak
mengizinkan darah menetes. bagi
ahmad terdengarnya seperti "kalo gak
malu ya.. dihabisin dulu
makananannya"..
huahh….!!!! Ahmad mempercepat
langkahnya, sambil berteriak memanggil
lina.. yang saat itu malah semakin
melambat, ahmad meradang, ia berbalik
kebelakang, ingin memuntahkan
kemarahannya pada lina. tapi belum
sempat tamparan ahmad bersarang, lina
telah tersungkur dan menjerit..
"anakku-anakku"
***
"di saat itu aku lahir.. tapi yang
mengantarkan adalah pamanku..
sementara ayahku entah lari kemana..
hingga 10 hari di rumah sakit, barulah
ayah datang, dan meminta maaf pada
ibu.. ibu tidak bilang apa-apa.. malah
menanyakan kabar ayah gimana,
tinggalnya dimana, makan apa dan lain
sebagainya.. ayah terlihat seperti
malaikat, tak pernah salah dan ibu juga
terlihat seperti malaikat, tak pernah
protes, tak punya marah, kerjanya hanya
patuh..patuh..patuh.. terkadang cinta
membuat orang menjadi malaikat dan
diri sendiri juga menjadi malaikat..
"Tidak cukup seminggu di rumah sakit,
ayah mengajak ibu pulang ke Makassar,
hemm.. sebenarnya bukan mengajak,
Cuma sekedar pemberitahuan, karena
mau tidak mau, pasti ibu harus ikut, tapi
setidaknya ayah menepati satu janjinya,
mencarikan rumah kontarakan
sederhana buat ibu dan aku yang baru
lahir. Namun, lagi-lagi tidak sebanding,
satu janji yang di tepati di bayar beribu
perhatian yang hilang, ayah sering tidak
pulang,, bahkan sampai berhari-hari.
hingga di mataku selalu terisi wajah ibu,
ayah jarang sekali, yang ku kenal hanya
panggilan dan candaan khas ala ibu,
ayah hanya sesekali mencium ku ketika
datang lalu lenyap lagi entah kemana.
mungkin karena itu ibu mulai sakit-
sakitan, badannya kurus, tulangnya
hampir sama besar dengan tulangku,
kerjanya melamun di balik pintu, Cuma
sekali pancaran kebahagian yang terlihat
dimata ibu, yah.. ketika ayah muncul di
balik pagar, ibu akan tersenyum lalu
masuk kamar dan menyisir rambutnya
serta memakai wewangian.."
"2 tahun berlalu, barulah ayah memberi
tahu pekerjaan barunya.."
"aku sekarang main sulap..!!"
***
Rumah ini hanya seluas kamar di rumah
standar.. di sampinya berjejal panjang
dengan kamar yang setipe. tidak ada
bunga, tidak ada pekarangan,
pembuangan sampahnya pun sangat
dekat, hingga bau khas pecahan telur,
sisa bungkusan mie dan nasi yang tak
habis dimakan bergabung menjadi
aroma tak sedap yang akan menusuk
hidung 24 jam. buat orang baru,
sungguh akan menjadi masalah bahkan
membuat mual, tapi buat yang telah
terbiasa, baunya seperti udara hambar
yang senantiasa di hisap untuk
menyambung kehidupan, dianggap tak
ada dan itu kini dinikmati lina dan
anaknya.
"kau terlihat sangat kurus.."
Ibu paruh bayah itu duduk, lalu
menaruh buah-buahan yang baru
dbelinya, sambil memandangi
keponakannya yang semakin
memprihatinkan.
Lina hanya membalas dengan senyum
sambil meraih tangan kanan tantenya,
lalu menjabatnya dan menciumnya
sebagai bentuk takzim ataupun
menandakan dia merindukannya..
"ruangan ini sangat sumpek, harusnya
kau beli satu kipas angin, kasihan
anakmu.. bisa-bisa kulitnya penuh
dengan bintik-bintik keringat"
" gimana lagi tante, dasar kamarnya
sempit, sumpek, fentilasi kurang,
jendela Cuma satu.. yah..gak pa-pa dari
pada tidur dikolong jembatan hehe.."
Ibu paruh baya itu renyuh menatap
keponakan kesayangannya, mencoba
memahami dan mencari sedikit
kekecewaan akibat keras kehidupan
dari matanya, tapi yang ia dapat hanya
ketegaran dan kesabaran.. apakah
semua wanita seperti ini?
"suamimu diamana?"
"kerja"
"Kerja apa?"
"Katanya pesulap"
"sudah berapa lama tidak pulang"
"hampir 6 bulan"
Sepintas lina memandang keluar,
menerobos celah waktu yang telah lama
berlalu, dan mendapati dirinya duduk
diambang pintu tanpa ahmad disisinya,
berharap ahmad tiba-tiba muncul saat
itu, lalu setidaknya ia bisa merebahkan
kepala barang sebentar di dadanya,
menyandarkan kelelahan yang mau
tidak mau telah memenuhi hatinya.
Tapi, waktu seakan berkata padanya
"jangan harap!".. baru kali ini ia merasa
sakit.. sakit sekali,, tepat disana, di
segumpal daging yang berwarna merah
darah.. kini air matanya merembes
keluar dengan pelan, makin lama makin
deras, lelah yang harusnya disandarkan
pada ahmad, terpaksa jatuh di pangkuan
tante lina, ia merebah sambil menahan
isak"
"aku rindu suamiku tante.. sangat
rindu.. aku tidak perlu dia pulang
dengan banyak uang, atau dengan
mengendarai mobil, aku hanya ingin
dirinya.. perhatiannya.. belaian lembut
tangannya.. itu sudah cukup, bahkan
jika aku yang harus kerja.. tak apa, asal
dia tak lagi pergi.."
Kepala lina di belai pelan, ibu itu
menyembunyikan air matanya, gemuruh
dada ia tahan sedemikian rupa, tak ingin
ikut-ikutan menangis, meski di hatinya,
ia juga merasa dikhianati
"tidak perlu terlalu di pikirkan, nanti
dirimu malah stress.. kasihan anakmu,
dia butuh lebih banyak perhatian.. kalo
ibunya sakit, gimana anaknya bisa
dirawat.. kau masih punya simpanan
kan..? uangnya ahmad gimana? "
"simpanan ku masih ada, dari ahmad
hanya terang bulan yang telah basi dan
ayam panggang yang dimakan kucing,
setiap dia pulang, yang dibawanya hanya
bertumpuk-tumpuk makanan, padahal
aku tidak perlu itu, yang ku perlukan
hanya uang yang bisa ku tabung untuk
keluargaku.."
"coba kau komunikasikan dengan lebih
baik.. insya Allah bisa.. kontrakanmu
tinggal berapa hari nak?
"tinggal dua hari.."
"habis itu mau kemana? Ahmad tidak
pernah bilang soal kontrakan"
Lina hanya menggeleng, lalu mengusap
air matanya dan mengangkat kepalanya
dari pangkuan, sambil terus terisak
pelan
"pokoknya kalo kontrakanmu habis kau
pulang ke kampung, disana banyak
sodaramu yang bisa membantu, kau
lanjutkan kuliahmu dari jauh, jangan
terlalu berharap pada ahmad, ingat..!,
anakmu butuh perhatian lebih banyak.,
setelah itu cobalah mendaftar jadi
guru.."
lina hanya terpaku.. menimbang-
nimbang usulan tantenya.. dari hati
kecilnya, ia berharap, ahmad segera
pulang..
***
Bel tanda istirahat nyaring terdengar di
setiap lorong sekolah.. anak-anak
muntah berkeliaran dari kelas-kelasnya.
hanya ruangan kelas 4 yang masih
tertutup seakan terisolasi. Husain
berhenti bercerita, ia memandang
teman-temannya yang masih
memusatkan perhatian mereka pada
tutur husain. Husain lalu menoleh ke
pada ibu, ibu pun mengangguk pelan
tanda memperbolehkan ia untuk
melanjutkan cerita, sejenak Husain
menunduk dan terpejam, setetes air
mata keluar dari matanya
"di kampung, pahlawan ku meregang"
***
Malam itu masih terasa dingin, bahkan
menusuk hingga celah-celah bulu halus
di badan, serasa aliran darah hendak
berhenti karena membeku, husain
masih asik memainkan tangannya
dengan sisa rintik hujan, telapaknya ia
tengadahkan di bawah ujung genteng
yang terus mengalirkan sisa air, tetes
demi tetes.
Kakinya makin lama makin bergetar,
badannya yang sangat kurus seperti
kurang gizi, mulai berontak ingin
masuk, akhirnya dia mengalah, berlari
kedalam rumah mengambil handuk,
membersihkan tangan dan kaki serta
wajahnya yang terpercik tetesan hujan
yang pecah menerjang permukaan
tangan. ia lalu mengambil sarung dan
membungkus dirinya, sambil berjalan
kearah kamar ibunya, memandang ibu
yang telah dua minggu terbaring lemah
diatas kasur. bahkan, seakan tubuh ibu
jadi semacam cetakan diatas kasur,
rambutnya menguning karena keringat,
pipinya masuk kedalam mencetak dua
benjolan dia samping keduan matanya,
husain lalu merebah di samping ibunya
yang tersenyum melihat kedatangan
anaknya.
Husan tak berkata-kata, ia hanya
menatap pelan mata ibu yang terlihat
memerah dengan urat-urat kecil tak
beraturan. ia telah tau sejak lama,
semenjak pulang kekampung,
bercengkrama dengan keluarga,
menyelesaikan studi, lalu mengajar di
sd sebagai guru matematika, jahitannya
pun masih saja dilanjutkan dan seabrek
kegiatan lainnya, tetap ibunya masih
seperti dulu, masih menyisakan ruang
rindu yang hampir meledak karena
suaminya tak kunjung ada, setiap ada
waktu senggang, Husain selalu melihat
ibunya duduk di depan pintu melihat
ke ruas jalanan yang besar, tapi
pandangannya lebih jauh dari itu, sambil
sesekali melihat ke layar hp, menunggu
balasan dari suaminya yang tak kunjung
datang.. persis saat dikontrakan.
senyumnya hanya kamuflase, riang dan
semangat kerjanya hanya tipuan, yang
ada hanyalah hati yang meraung karena
diamuk sunami rindu yang menerjang
tak kunjung surut.. ibu.. pintar betul
bersandiwara..
"kenapa liat terus..? ibu makin kurus
yah..?"
Lina masih terus tersenyum pada
husain, dan Husain hanya mengangguk..
memang dia terkenal sebagai anak
pendiam namun jenaka luar biasa, kata
keluarga, mirip ibunya waktu kecil.
"yah.. kan ikut husainnya.. masa'
anaknya kurus ibunya gemuk.. xixixi.."
Husain tersenyum renyah.. ledekan
ibunya seperti satu kecupan di pipinya..
ia lalu mendekap erat tubuh ibu,
wajahnya dibenamkan dalam dada..
"nak.. kau rindu abi?"
Husain sedikit tersentak.. jika bukan
karena pertanyaan itu, mungkin dia
tidak pernah ingat kalo dia punya ayah..
"mang abi kemana?"
"Kerja buat kita.."
"Ko' tidak pernah pulang.."
Lina hanya terdiam.. Husain pun tak
ingin membahas panjang lebar.. kembali
ia benamkan wajahnya.. tapi lina
meneruskan pembicaraan..
"kamu sayang abi..?
"ibu sayang abi..?"
Husain balik bertanya.. lina hanya
tersenyum semanis yang pernah dilihat
Husain..
"ayahmu orang yang baik sekali.. jika
tersenyum ketawanya semanis dirimu,
di pipi kirinya ada lesung pipi, jika
marah dia hanya diam, tidak pernah
bentak sama ibu.. kau tau,, dia cari
kontrakan buat ibu karena sodara-
saodaranya sering nyuruh-nyuruh
ibumu.. ayah mu tidak terima.. padahal
ibu tidak pernah lapor lho.. hihihi.."
"katanya kontrakan kita dulu sumpek
ya.."
Lina hanya tersenyum lebar, mengingat
dan memperkirakan Gerangan apa yang
membuat mereka tahan tinggal di
kontrakan bau itu.. mengenang itu,
seakan makan permen asin, namun
tetap ada manisnya.. dan suasana pun
menjadi hening..
"aku sayang umayya (panggilan Husain
pada ibunya..)"
Lina tersenyum.. dia membelai kepala
Husain, ruas-ruas jarinya ia selipkan di
antara rerimbun rambut anaknya yang
lebat..
"jadi anak sholeh yah.. supaya ibu
punya amal jariyah.. jadi, biar ibu nanti
meninggal, tetap dapat pahala.. jangan
pernah berkelahi, apalagi nyusahin tante
dan pamanmu disini.. klo sudah besar,
jangan mau kerja empang, tapi lanjutkan
sekolah di kota sampai professor..
hehe.. cari istri yang solehah.. dan
jangan sekali-kali ninggalin istrinya
lama-lama.."
"aku mau cari istri seperti umayya"
"hahaha.. kamu ini.."
Dahi lina mengeluarkan keringat yang
banyak.. cetakan tulang-tulangnya
makin jelas di badannya yang tinggal
terbungkus kulit.. tiba-tiba ia
mengeluarkan air mata..
"kenapa menangis..?
"tidak..tidak.. umayya Cuma berharap..
abimu bisa lihat kamu yang dah besar,
yang dah ganteng dan pintar… "
"Dah..dah.. tidur.. besok kamu
sekolah.. ""Aku sayang kamu nak.."
Lina mengecup dahi Husain.. dari ujung
bibir lina, terasa suhu yang sangat
panas, menembus dahi Husain hingga
kekhawatirannya
"umayya panas sekali"
Lina hanya diam dan terpejam.. Husain
tak bisa memejamkan matanya..
lama..sangat lama.. dia hanya
memendang ibunya beserta bulir-bulir
keringat yang semakin deras membanjiri
wajah dan badan ibunya. tiba-tiba dari
hidung ibunya merembes aliran darah
tak henti.. Husain panik, ia
menggoyang-goyangkan badan ibunya..
ibunya tak bangun, masih saja terpejam..
Husain berteriak..!! seluruh penghuni
rumah terbangun dan kaget, mereka
berhamburan ke kamar lina lalu
semakin terkejut melihat kilatan darah
merah yang sudah mencapai permukaan
kasur.. dari telinganya juga keluar darah
rupanya.. lina digotong menuju
kerumah sakit, Husain dilarang ikut,, ia
hanya terpaku di depan pintu,
mencerna kejadian yang sangat
mendadak ini, mengingat percakapan
terakhir dengan ibunya, tentang ayah,
anak sholeh dan sedikit jenaka yang
tersisa, tapi tidak bisa menguatkan
jiwanya yang seketika ambruk melihat
darah segar menghitam tak berhenti
mengalir..
Sejurus kemudian.. tantenya berlari,
menghambur padanya.. memeluknya
erat sekali.. Husain merasakan hentakan
badan yang naik turun tak terkontrol
dari tubuh tantenya..
"ada apa tante…? ibu.. kenapa..?"
Tantenya bergetar, mulutnya terbata-
bata, tak seperti air matanya yang
merembes keluar layaknya hujan saat
mendung menutupi bulan..
"sss…ssbar yah nn..nak..
uumm..aayyaa..mu …
mm..menging..ggal.."
Husain terdiam,, tak berkedip.. sejenak
badannya mati rasa.. bahkan ia tak
menangis.. dengan sepontan ia berkata:
"aku ingin telpon abi…"
Sejurus kemudian.. tantenya telah
memberikan hp lina pada Husain..
husain mencari no hp yang ia ingat
berinisal "imamy".. akhirnya.. dia
menunggu jawaban dari ujung sana
"halo.. assalamu a'laikum.. "
"abi.. umayya meninggal.. ummayya
meninggal.."
Tiba-tiba Tangisan Husain pecah
dengan sangat keras.. menghantam
dinding kayu rumah itu.. orang-orang
yang ada disekitarnya tak berani
berbuat apa-apa.. Husain telah
tersungkur, terduduk di tempatnya
berdiri..
"huhu.. abi.. pulang.. umayya
meninggal.. umayya meninggal.. siapa
yang temani Husain lagi.. huhu.. sapa
yang ajari husen ngaji.. pulang abi..
siapa yang belikan buku buat Husain
lagi.. abi pulangg.. umayya.. meninggal..
huhuhuhuuuu.."
"maaf… anda salah sambung.. " tiittt…
tiitt…tiitt…
"abi..pulang..pulang.. huhuhuhu..
puuulllllaaaannggggg….."
Tiittt….tiittt…
Husain meronta keras.. tantenya
mememeluknya dan menenangkan..
seluruh rumah kini terdiam tak sanggup
lagi menangis, menyaksikan sebuah
adegan hidup yang begitu memilukan,,
dan Husain tak berhenti menangis..
bukan karena penolakan ayahnya.. tapi
kepergian ibunya.. ia terus menangis..
hingga tertidur dalam jiwanya yang
remuk redam..
***
Isakan pelan tertahan membahana
dengan tenang di ruangan kelas 4,
seluruh siswa merunduk
menyembunyikan air mata mereka,
menyesal baru menyadari, bahwa ibulah
yang harusnya dianggap pahlawan..
meski tak super,, dialah super
sebenarnya.. husain pun begitu, ia
masih saja menangis, menahan suara
yang harusnya meledak-ledak, tapi ia
tak kuasa membendung air matanya
yang berhamburan.. melihat itu.. ibu
guru yang sedari tadi juga ikut
menangis.. menerjang husain lalu
memeluknya.. mengelus punggung
Husain.. menenangkan.. Husain pun
membalas pelukan lebih erat..
membenamkan suaranya dalam pelukan
ibu guru, menyebunyikan air matanya
yang tak berhenti mengalir, dalam hati
ia merintih
"jangan lepaskan bu.. aku ingin dipeluk
terus.. ingin di peluk
Jangan lepaskan"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar