seleamat membaca cerpen saya dan jangan lupa tinggalkan komentar

Selasa, 23 Oktober 2012

DIBALIK SEBUAH CITA-CITA




Bunyi kursi roda yang berderit pelan membuatku menoleh kebelakang dan tersenyum pada gadis yang duduk diatasnya. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apa-apa, tidak juga sakit yang mungkin sedang ia rasakan dalam tubuhnya. Aku bisa dibilang adalah salah satu yang mengerti benar mengapa ia berada dirumah sakit, namun aku memilih untuk tidak memahami, dan yang mencoba berpura-pura bahwa yang kutahu hanyalah ia seringkali mengendarai kursi rodanya keluar kamar menuju taman didepan rumah sakit ini, tempatku biasa mengambil gambar dengan kamera yang kukalungkan dileher. Kutekan sekali tombol shutter kameraku kearahnya, namun ia tidak juga merubah reaksinya sedikitpun dan sebagai gantinya ia mendorong roda kursinya makin mendekat.


“Selamat pagi.” Sapaku. Ia mengangguk pelan untuk menanggapinya. Terlampau jarang aku mendengarnya mengeluarkan suara, “Hari yang baik?”
Ia menunjuk kakinya, yang berarti hari itu tidak terlalu baik, sementara aku hanya mengernyitkan kening.
“Memangnya kenapa?”
Sekali lagi ia menunjuk kakinya diikuti memegang sesuatu berwarna putih. Banyak bahasa isyarat yang ia ciptakan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Untuk yang satu itu, berarti bahwa seorang dokter tidak terlalu baik padanya pagi ini. Aku hanya tersenyum menenangkan.
“Dokter Arnold?”
Gadis itu menggeleng. Jika hal itu baik, ia akan menunjuk kepalanya, dan sebaliknya jika hal tidak terlalu baik terjadi, ia menunjuk kaki. Kau tahu, atas berarti baik dan bawah berarti buruk untuknya mengingat kakinya tidak dapat digerakkan dan ia sangat membenci kenyataan tersebut. Dan untuk Dokter Arnold, dokter yang selalu merawatnya, ia selalu menunjuk kepalanya.
Dari belakang kami lalu terdengar sebuah seruan, “Lily.” Gadis itu memutar kursi rodanya sehingga menghadap kearah Dokter Arnold, yang biasa merawatnya. Aku tersenyum singkat padanya, “Selamat pagi, Tiffany.”
“Pagi, Dokter.”
Dokter Arnold memasukkan kedua tangannya kedalam kantong jas putih panjangnya seraya berjalan pelan menghampiri Lily, “Maaf aku terlambat, tapi ini masih terlalu pagi untuk meminta Tiffany memotretmu. Bayarannya sangat mahal dan aku tidak punya cukup uang untuk membayarnya.”
Lily tersenyum lebar dan melambai kearahku ketika Dokter Arnold mengambil alih untuk mendorong kursi rodanya kembali menuju rumah sakit sambil juga tersenyum padaku, “Sampai nanti, Tiff.”
Aku melambai pada mereka berdua yang sudah sekitar 8 bulan ini kukenal secara tidak sengaja. Pertemuan yang mungkin seharusnya tidak perlu terjadi.

8 bulan yang lalu
Koran yang terlipat kaku itu hanya kutatap dengan nanar. Tidak perlu kubuka lipatannya yang masih sempurna itu untuk mengetahui apa yang tertulis didalamnya. Tidak akan ada namaku di halaman 3 atau 4 atau 5 ataupun 6. Tidak disemua halaman yang menampilkan nama-nama peserta ujian masuk perguruan tinggi negeri yang dengan beruntung diterima ditempat yang mereka inginkan. Aku bukan salah satu yang beruntung.
Ibu dan bapak hanya diam dan bahkan mungkin mengerang dalam hati serta menyesali kenapa aku, putri mereka satu-satunya ini, begitu bodoh dan tidak dapat memenuhi keinginan mereka. Padahal itu hanya sekedar tes biasa.

“Aku pergi.” Ujarku saat melangkah menuju pintu kayu rumahku yang tidak terlalu besar, karena memang tidak perlu rumah besar untuk menampung kami bertiga. Ibu menahanku,
“Kamu mau kemana, Fan?”
Kuputar badan dan dengan senyum terpaksa, kuacungkan kamera DSLR ku. Tanpa kata-kata, ibu sudah tahu apa yang akan kulakukan. Memotret. Apa lagi?
Mereka membiarkanku pergi berjalan kaki. Sejujurnya, aku tidak terlalu menyesal meskipun aku tidak diterima di perguruan tinggi dimana aku mendaftar untuk melanjutkan kuliah. Karena apa yang kuinginkan hanyalah memotret. Tak ada yang lain. Maka kubiarkan saja kemanapun kakiku membawaku pergi dan tiap langkah itu pula kuabadikan pemandangan yang kulewati.
“BRAK!”
Seseorang menyenggol pundakku dalam upayanya berlari dari sesuatu. Tubuhku limbung namun tidak sampai terjatuh ke tanah dan kedua tanganku reflek memegangi kamera yang kubeli dengan uang sakuku sendiri, “SHIT!” mataku mengikuti si penabrak tadi yang kini sudah jauh dari tempatku berdiri. Bisa kurasakan kemudian pundakku dipegang oleh tangan seseorang,
“Kamu gak apa-apa?”
Aku yakin pasti orang yang sedang berusaha membenarkan posisi berdiriku yang masih belum sempurna ini adalah seorang dokter dari jas putih panjangnya yang berkibar berlebihan. Aku hanya mengangguk menjawab pertanyaannya sekaligus juga memandangnya dari atas kebawah untuk memastikan bahwa ia bukan dokter di rumah sakit jiwa dan orang tadi adalah pasiennya. Karena memang tidak ada RSJ di daerah ini.
Dokter itu mengangguk. Terbaca dengan jelas nametag bertuliskan nama ‘Arnold Sanjaya’ di jas pada bagian dada kirinya., “Baguslah kalau begitu. Maaf. Permisi.” Ia lalu mengejar orang yang tadi dan dengan sekejap tak terlihat lagi.

Aku kembali berjalan. Cukup jauh dan cukup banyak gambar yang kuambil hingga kartu memoriku sudah hampir kehabisan tempat untuk menampungnya. Kudongakkan kepala untuk memotret gedung-gedung pencakar langit yang seolah menantang keberadaan benda-benda penghias angkasa jika malam tiba. Sayangnya saat ini masih siang.
Lalu terdengar riuh didekatku. Aku mencari sumber keriuhan tersebut dengan bola mataku masih mengintip lewat kamera hingga menemukan beberapa orang menunjuk kesebuah atap gedung yang tidak terlalu tinggi yang terletak beberapa puluh meter dibelakangku.

Demi Tuhan!
Orang yang tadi menabrakku dan seperti dikejar oleh dokter Arnold Sanjaya, sedang berada diujung atap gedung dan seperti siap melompat. Wow wow! Ada apa ini?
Setelah aku bisa menemukan keberadaan dokter Arnold, aku segera menghampiri dan menampar pipinya. Tak peduli ia sedang berteriak-teriak supaya pria tersebut untuk turun dari sana. Dokter Arnold beralih untuk memarahiku,
“HEY! Ada apa?!”
“Ada apa ini??” aku malah melempar balik pertanyaan padanya.
Dokter Arnold menggelengkan kepala dan kembali meneriaki pria diatas gedung.
“HEY!” sengaja aku berteriak ditelinganya dan ia langsung menoleh tak sabar.
“APA?”
“Tarik ia kebawah! Jangan hanya berteriak dari sini saja! Apa kau takut, hah??”
Ia terdiam dan lalu menunjuk keatas lagi, “Ia membawa pisau!”
“Lalu? Kau takut terkena pisau ketika menyelamatkannya? Kau yakin kau seorang dokter, hah? Kau tidak lain hanyalah seorang PENGECUT!”
“PLAK!” ia menamparku. Aku tak peduli dengan teriakannya yang menahanku agar tidak naik keatas sana dan segera berlari masuk kedalam gedung menuju atap dan membuka pintu yang gerendelnya sudah terbuka untuk mendekat ke pria tersebut. Dan ia memang membawa pisau.
Karena mendengar pintu yang berdecit membuka, ia memutar badannya kearahku sambil mengacungkan pisaunya.

“Aku tidak tahu kenapa bapak memilih untuk seperti ini, tapi lebih baik hentikan. Ini tidak akan menyelesaikan apa-apa.”
“Kamu tidak tahu apa-apa. Kamu masih sangat muda.” Pria itu kembali membalikkan badannya dan terdengar teriakan dari bawah sana ketika beliau semakin memajukan kakinya.

Aku kembali memberanikan diri bersuara untuk mencegah ia semakin bergerak maju, “Oh ya saya memang masih muda dan saya tidak tahu apa masalah yang anda hadapi, yang saya tahu adalah hari ini saya tidak diterima di perguruan tinggi yang saya inginkan dan tidak terbersit sedikitpun untuk melakukan apa yang bapak lakukan sekarang.”
Ekspresi wajahnya mengerikan ketika berbalik menatapku dan bergerak mendekat, “Istriku baru saja meninggal karena kecelakaan yang kusebabkan, anak pertamaku koma, dan anak keduaku…” ia mengarahkan pandangan pada sesuatu dibelakangku dan ekspresinya melunak.
“Bapak…”
Aku menoleh mendengarnya. Gadis kecil itu berjalan berusaha mendekati pria itu dengan tertatih-tatih namun beberapa detik kemudian ekspresinya berubah drastis dalam sekejap. Matanya membulat sempurna dan berkaca-kaca, mulutnya ternganga dan wajahnya pucat pasi, “BAPAAAKKKKK!!”
Aku berbalik cepat dan pria itu sudah tidak ada disana. DAMN! Apa ia terjun? Tapi aku memeluk dengan sangat erat gadis kecil tadi yang masih shock dan berteriak karena dengan posisinya tadi, ia lah yang melihat dengan jelas bagaimana ayahnya melompat…

Gadis itu segera diraih kedalam pelukan seseorang yang tak lain adalah Dokter Arnold. Ia menatapku dan mengisyaratkan agar aku mengikutinya. Diiringi oleh tangis dan jeritan gadis kecil dipelukan dokter Arnold yang tak habis-habisnya, ia mulai menjelaskan.

“Satu keluarga mengalami kecelakaan kemarin siang dan istri serta putra pertama pria tadi mengalami koma sementara ia baik-baik saja. Hanya luka kecil tak berarti yang semakin membuatnya merasa bersalah. Putri mereka, gadis ini, Lily langsung mendadak bisu setelah shock karena kejadian tersebut. Ia hanya duduk diluar kamar ibunya dan tidak menangis sedikitpun, namun selalu enggan berdiri. Sampai pada akhirnya aku berusaha menggandengnya untuk berjalan dan ia hanya bisa menyeret kakinya.”
“Karena shock?” aku menata dokter Arnold dengan tidak percaya lalu memandang Lily yang baru berusia sekitar 7 tahun.
Dokter Arnold mengangguk, “Pagi tadi ibu Lily meninggal dan itulah yang membuat Bapaknya semakin merasa bersalah dan tidak hentinya membenci diri sendiri. Ia berlari kesini setelah mencabut pisau dari sebuah parsel buah yang dikirim pengunjung kemarin. Aku hanya mengkhawatirkan jika ada seseorang yang naik keatas, terutama aku, Lily akan mengikuti dan melihat kejadian ini secara langsung.”
“Jadi kau sudah memperkirakan kejadiannya akan seperti ini?”
“Tidak. Karena setidaknya ia tidak akan naik jika aku tidak naik karena ia sudah cukup dekat denganku. Lalu ia melihat kau naik kesana. Ia melompat dari gendongan seorang perawat dan menyusulmu, karena tadinya ia pikir tidak mungkin ada yang bisa naik kesana selain ayahnya.”

Setelah itu mereka meninggalkanku dengan kesibukan mengurusi Lily dan tubuh ayahnya yang ternyata tertangkap oleh matras darurat yang dengan cepat dipasang dibawah oleh para penyelamat ketika beliau akan melompat. Beliau selamat meski dengan tangan masih menggenggam pisau.

Sekarang
Sejak itu setiap hari aku memotret ditaman Rumah Sakit untuk sekedar mengamati sekitar dan kusadari betapa banyaknya cerita disana yang dapat kubingkai dengan kameraku. Beberapa hasil jepretanku disana kukirimkan untuk lomba dan ke banyak media hingga akhirnya menang dan dimuat. Termasuk juga foto Lily saat sedang dipertemukan dengan ayahnya. Ekspresinya yang tidak tergambarkan dengan kata-kata, kuabadikan dan termuat dalam salah satu situs fotografi terbesar didunia hingga membuatku cukup dikenal dikalangan fotografer dan jurnalis.

Sebagian uang yang kuhasilkan, kusumbangkan pada Rumah Sakit untuk membiayai mereka yang kekurangan dana berobat, namun sudah berbaik hati mau menjadi model fotoku. Tidak semua mau menjadi model, terutama mereka yang mengidap penyakit yang berbeda dari yang lain. Sehingga aku harus memendam beberapa keinginanku untuk menceritakan kisah mereka pada dunia lewat foto.

Kejadian hari itu adalah titik balik kehidupanku meski sebenarnya cukup aneh dan terlalu menyedihkan untuk diceritakan kembali.
Sampai sekarang Dokter Arnold masih mengupayakan agar Lily mau berbicara lagi dengan orang lain. Karena dengan ayahnya pun ia tidak mau berbicara banyak. Dan juga bagaimana agar ia percaya bahwa ia masih bisa berjalan, karena menurut diagnosa, sebenarnya tidak ada kesalahan apapun pada kedua kaki Lily.

Banyak hal yang harus kulakukan hari ini sehingga aku tidak bisa berlama-lama mengambil gambar ditaman. Aku menyapa beberapa pasien yang sedang berjemur untuk menyerap banyak-banyak sinar matahari pagi agar cepat sembuh dalam perjalanan keluar dari pagar Rumah Sakit. Banyak harapan didalam sana, banyak cita-cita yang menunggu untuk tercapai, begitu banyak asa. Dan dari cerita didalam sana lah aku meraih apa yang selama ini aku inginkan,
Menjadi fotografer.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar